Tiga
anak laki-laki tampak sedang belajar bersama di taman komplek. Mereka berkumpul
di bawah pohon yang paling rindang. Rudi berbaring telungkup,sambil membaca
buku PKN, Boby duduk bersandar ke batang pohon, sambil mengerjakan soal IPA,
Ahmad duduk mengerjakan soal Matematika.
“Assalamu’alaikum,”
sapa sebuah suara.
“Wa’alaikum
salam.” Rudi, Boby, dan Ahmad membalas salam serempak sambil mengangkat wajah.
Ari, berdiri di hadapan mereka.
“Maaf
terlambat. Aku menunggu ayahku berangkat dulu,” jelas Ari. Dia takut
teman-temannya marah.
“Oh,
nggak apa-apa, Ri. Ditugaskan ke mana ayahmu?” tanya Rudi.
“Kali
ini berat, Rud, ayahku lolos seleksi Pasukan Garuda, dan ditugaskan di daerah
perbatasan Palestina.” Suara Ari terdengar sendu.
“Sabar,
Ri. Doakan ayahmu supaya selalu diberi keselamatan,” sahut Boby.
“Iya,
Ri. Aku juga sering kangen Ayah. Tapi dia sering meneleponku dan Ibu.
Sekali-sekali, Ayah juga mengirimkan makanan dan mainan untukku,” kata Rudi.
“Betul,
Ri. Meskipun papaku jauh di Papua, komunikasi kami tetap lancar. Ayah sering
mengirimkan baju untukku,” timpal Boby.
“Ehm…,”
Ahmad berdehem.
Rudi,
Boby, dan Ari menoleh. Mereka terlalu asyik membicarakan ayah mereka, sampai
lupa kalau Ahmad ada di situ.
“Eh,
Mad… uh… eh…,” Ari salah tingkah sendiri. Rudi yang cepat tanggap.
“Mad,
kami minta maaf. Kami asyik membicarakan ayah-ayah kami. Tapi, kami nggak bermaksud
membuatmu sedih,” kata Rudi.
Ahmad
tersenyum. Dia memang anak yatim. Ayahnya gugur ketika sedang bertugas menertibkan
kerusuhan di Maluku.
“Nggak
apa-apa,” ucap Ahmad.
“Mad,
tapi… kamu masih suka kangen nggak sama ayahmu?” tanya Boby.
“Hush,
Boby, kamu…,” cetus Ari.
“Nggak
apa-apa, Ri,” potong Ahmad. Dia memang anak yang tabah.
“Ya, masih lah. Aku masih sering kangen
Bapak,” ucap Ahmad.
“Terus
kalau kamu lagi kangen sama ayahmu, gimana?” tanya Rudi.
Ahmad
mengeluarkan sesuatu dari dalam tas ranselnya.
“Ini
obat kangenku pada Bapak,” ujar Ahmad.
“Kok,
quran, Mad. Eh, itu quran dari Syaamil Quran, kan? Aku juga punya di rumah,”
kata Ari.
“Iya,
dalam quran ini ada surat Luqman. Surat itu berisi nasihat seorang ayah
kepada anaknya,” kata Ahmad. “Setiap kali aku kangen Bapak, aku baca surat itu
dan berkhayal Bapak sendiri yang berbicara padaku,” sambung Ahmad dengan suara
bergetar.
Ketiga
temannya terdiam. Sepertinya mereka turut merasa haru seperti Ahmad.
“Ah,
kenapa jadi melow begini, sih,” gelak Ahmad sambil mengusap matanya yang
berkaca-kaca. “Kalian beruntung masih memiliki ayah. Sayangi ayah kalian, ya,”
kata Ahmad.
Rudi,
Boby, dan Ari menghela napas bersamaan.
“Ayo,
kita lanjutkan belajar!” ajak Ahmad.
Keempat sahabat itu kembali tekun dengan buku
pelajaran masing-masing.