mari berbagi cerita dan mimpi masa kecil kita...

Premium Blogger Themes - Starting From $10
#Post Title #Post Title #Post Title

Translate

DOBEL KACAU YANG MENGASYIKKAN

Tak banyak buku anak  yang ditulis oleh penulis dewasa yang bisa benar-benar menjiwai cita rasa kanak-kanaknya.  Tetapi, membaca Go Keo! No Noaki! membuat saya seakan-akan menjadi anak-anak lagi. Ini asyik dan saya suka (saya memilih tidak  me-label-i karya penulis lain apalagi sesama teman penulis dengan keren atau super keren karena bisa berkonotasi objektif *prinsip orang boleh lain kan*).


Buku ini berkisah tentang Keo, anak laki-laki yang kesepian karena sering ditinggalkan orang tua (dalam hal ini Mama-nya. Papa-nya kemana ya, apakah Mama-nya Keo single parent?). Tetapi kemudian mendapat “keasyikan” dari pergaulannya dengan Noaki dan kelompoknya. Walau kemudian menuai konflik. 

foto : koleksi pribadi

Keo tiba-tiba mendapati bahwa ia punya kembaran tak sedarah bernama Noaki, seorang anak perempuan.  Sikap Noaki sangat menyebalkan. Ia selalu marah tanpa alasan yang jelas pada Keo. Bisa jadi karena pelampiasan rasa tidak nyamannya akibat repons orang-orang di sekitarnya yang terheran-heran dengan kemiripan wajahnya dengan Keo, termasuk keenam sahabatnya: Toby Chen, Lady, Ajeng, Seb, dan si kembar Wamena-Timika.

Namun, Keo punya cara untuk sedikit meluluhkan hati Noaki. Ia mengajak Noaki berkeliling kelas untuk “sengaja” memperlihatkan kemiripan mereka. Dengan begitu, anak-anak di lingkungan SD Generasi Merdeka (nama sekolah mereka) menjadi terbiasa dan tidak akan membicarakan lagi masalah “kembaran” ini.

Yang unik di bagian ini, penulisnya menggambarkan skema “petualangan” -- yang sebenarnya catatan diary Keo -- kedua anak itu ketika mereka berkeliling kelas. Dalam bagan itu tergambar “perasaan” yang tak sengaja terungkap dari kedua karakter utama kisah ini. Cara yang cerdas untuk mendeskripsikan seluruh kejadian tanpa bertele-tele menggunakan kalimat. Berguna juga untuk menghemat beberapa halaman. Saya senyum-senyum membaca catatan itu.  Saya menangkap ada “sesuatu” nih si Keo pada Noaki.

Saya suka buku ini, karena penokohan Keo yang tidak sempurna. Walau dia dideskripsikan anak yang baik, ganteng, dan kaya, tapi ada sisi flawless-nya. Di sisi lain Keo anak yang kesepian, kadang marah pada keadaannya yang jarang mendapat kasih sayang dari mama-nya, lemah pula di pelajaran matematika.

Konfliknya dibumbui oleh "perasaan" suka-suka-an. Walau rasa suka di usia karakter yang terlibat seperti Ajeng, Keo, dan Noaki memang masih ambigu. Suka antara sahabat atau memang suka terhadap lawan jenis. Ini kan jarang diangkat di buku-buku pre-teen. Ada kesalahpahaman, ada sedikit cemburu. Ya nggak tabu juga kali, soalnya saya juga pernah mengalami kok usia segitu udah suka teman cowok, dan cemburu-cemburu juga kalau teman cowok itu lebih memperhatikan teman cewek lain. Jadi alami kan, biasa aja.

Kemudian dialog-dialognya yang cerdas antara tokoh-tokohnya. Walau terkesan “ketua-an” tapi mewakili kondisi anak-anak masa kini, yang kalau berbahasa suka bikin terperanjat orang jadul macam saya. Saya suka celetukan Seb. I love Seb… hihi.

Konflik mulai muncul dari penolakan-penolakan Noaki atas perasaannya terhadap Keo. Lambat laun suka tapi malu (gengsi), pelampiasannya jadi marah-marah… ahahahaha (jadi ingat pengalaman sendiri berjuta tahun lalu… waaaks lama banget ya)

Dengan setting di alam pegunungan ini saya suka lagi karena penulis nggak terjebak pada tuntutan pasar yang sering menginginkan setting kota besar atau luar negeri, dan saya pernah lho… menulis dengan setting seperti ini, sama lagi seputaran Lembang yang jadi inspirasinya *nggak penting* buku ini tidak kehilangan sentuhan moderen. Penulis menyisipkan kecanggihan peralatan game yang dimiliki Keo, si bocah tajir. Penulis cerdas mengawinkan kesederhanaan dan kemewahan tanpa ada gap.

Kemudian sisipan bumbu misteri lewat sms-sms dari nomor tak dikenal yang diterima Keo. Awalnya dari tawaran membantunya mengalahkan tantangan Toby Chen untuk berlomba memiliki sepatu paling bau. Hahaha… ini lagi, keunikan penulis yang tak disangka-sangka, adu lomba sepatu paling bau. Berapa banyak penulis yang mampu membangkitkan ide “gila” dalam pikirannya untuk dituangkan dalam sebuah cerita (semoga saya satu di antara mereka). Walau  disampai akhir belum juga terungkap siapa orang misterius itu. Ah gemeeesss...

Juga bumbu kepedulian terhadap sahabat. Keo ingin membantu Wamena “memisahkan diri” sejenak dari Timika, untuk membuktikan bahwa jika mereka berjauhan tidak akan terjadi kesialan.  Ternyata, masalah ini menjadi puncak konflik antara Keo dan kelompok Noaki. Entah siapa yang membocorkan rencana Keo pada Timika, sehingga rencana gagal. Keo menuduh Noaki sehingga Noaki meradang.

Belum lagi kesialan yang menimpanya akibat tuduhan membobol sistem nilai di komputer guru. Keo dirundung masalah.  

Keo merasa “sendiri” lagi. Ketika Mamanya menawarkan untuk pindah kembali ke sekolah lamanya di Jakarta, Keo langsung menyambut tawaran mamanya dengan antusias. Wah! Keo pindah?
Serius? Jawabannya ada di buku kedua… hahaha… dikasih bocoran biar penasaran.

Walau secara keseluruhan buku ini seru, karena cara bertutur penulis yang berhasil menyeret saya untuk tenggelam dalam kisah ini tanpa jeda. Ada sedikit ketidakpuasan setelah selesai membaca, karena menurut saya ada yang "mis".

            Penokohan Noaki, kok terasa kurang kuat dibanding Keo. Latar belakang Noaki dari keluarga menengah cukup jelas. Tetapi, latar belakang hubungan Noaki dan kelompoknya sedikit pun tidak dideskripsikan. Apalagi dengan asumsi Noaki adalah pemimpin di kelompok itu, apa dasarnya? Sepertinya menarik jika dideskripsikan. Sayangnya penulis tidak membahasnya, walau sekilas.

  Part “Ajeng suka sama Keo”, ketika Wamena menyadarkan Keo kalau sikap yang ditunjukkan Ajeng itu adalah tanda-tanda Ajeng suka padanya. Dan kemudian Wamena berjanji untuk “menormalkan” Ajeng. Di bab selanjutnya Ajeng sudah berubah sikap lagi dan Keo sadar kalau Wamena sudah “menormalkan” Ajeng.  Dasar kepo, saya penasaran gimana caranya Wamena menormalkan Ajeng… ah sayang penulisnya nggak menjelaskan. Menarik lho, cara pre-teen ini menyelesaikan konflik batin untuk menyudahi perasaannya demi sahabatnya (misal). Hal seperti ini biasa terjadi pada usia-usia belasan atau dewasa, kalau anak-anak usia sepuluh tahun-an, gimana?
      
      Hehehe... abaikan yang terakhir itu. Dibahas nggak dibahas sebenarnya nggak ngaruh sama keseluruhan jalan cerita. Pokoknya nggak rugi baca buku ini. Seruuu...
  





Rating Menurut Saya:

SANGAT SUKA *  SUKA *  BIASA AJA


Leave a Reply