Tak banyak buku anak yang ditulis oleh penulis
dewasa yang bisa benar-benar menjiwai cita rasa kanak-kanaknya. Tetapi, membaca Go Keo! No Noaki! membuat saya seakan-akan
menjadi anak-anak lagi. Ini asyik dan saya suka (saya memilih tidak me-label-i karya penulis lain apalagi sesama
teman penulis dengan keren atau super keren karena bisa berkonotasi objektif
*prinsip orang boleh lain kan*).
Buku ini berkisah tentang Keo, anak laki-laki yang kesepian
karena sering ditinggalkan orang tua (dalam hal ini Mama-nya. Papa-nya kemana
ya, apakah Mama-nya Keo single parent?).
Tetapi kemudian mendapat “keasyikan” dari pergaulannya dengan Noaki dan kelompoknya.
Walau kemudian menuai konflik.
foto : koleksi pribadi |
Keo tiba-tiba mendapati bahwa ia punya kembaran tak sedarah
bernama Noaki, seorang anak perempuan. Sikap
Noaki sangat menyebalkan. Ia selalu marah tanpa alasan yang jelas pada Keo.
Bisa jadi karena pelampiasan rasa tidak nyamannya akibat repons orang-orang di
sekitarnya yang terheran-heran dengan kemiripan wajahnya dengan Keo, termasuk
keenam sahabatnya: Toby Chen, Lady, Ajeng, Seb, dan si kembar Wamena-Timika.
Namun, Keo punya cara untuk sedikit meluluhkan hati
Noaki. Ia mengajak Noaki berkeliling kelas untuk “sengaja” memperlihatkan
kemiripan mereka. Dengan begitu, anak-anak di lingkungan SD Generasi Merdeka
(nama sekolah mereka) menjadi terbiasa dan tidak akan membicarakan lagi masalah
“kembaran” ini.
Yang unik di bagian ini, penulisnya menggambarkan
skema “petualangan” -- yang sebenarnya catatan diary Keo -- kedua anak itu
ketika mereka berkeliling kelas. Dalam bagan itu tergambar “perasaan” yang tak
sengaja terungkap dari kedua karakter utama kisah ini. Cara yang cerdas untuk mendeskripsikan seluruh kejadian tanpa bertele-tele menggunakan kalimat. Berguna juga untuk menghemat beberapa halaman. Saya senyum-senyum membaca catatan itu. Saya menangkap ada “sesuatu” nih si
Keo pada Noaki.
Saya suka buku ini, karena penokohan Keo yang tidak sempurna. Walau dia dideskripsikan anak yang baik, ganteng, dan kaya, tapi ada sisi flawless-nya. Di sisi lain Keo anak yang kesepian, kadang marah pada keadaannya yang jarang mendapat kasih sayang dari mama-nya, lemah pula di pelajaran matematika.
Konfliknya dibumbui oleh "perasaan" suka-suka-an. Walau rasa
suka di usia karakter yang terlibat seperti Ajeng, Keo, dan Noaki memang masih ambigu. Suka antara sahabat atau memang
suka terhadap lawan jenis. Ini kan jarang diangkat di buku-buku pre-teen. Ada kesalahpahaman, ada sedikit cemburu. Ya nggak tabu juga kali, soalnya saya juga pernah mengalami
kok usia segitu udah suka teman cowok, dan cemburu-cemburu juga kalau teman
cowok itu lebih memperhatikan teman cewek lain. Jadi alami kan, biasa aja.
Kemudian dialog-dialognya yang cerdas antara tokoh-tokohnya.
Walau terkesan “ketua-an” tapi mewakili kondisi anak-anak masa kini, yang kalau
berbahasa suka bikin terperanjat orang jadul macam saya. Saya suka celetukan
Seb. I love Seb… hihi.
Konflik mulai muncul dari penolakan-penolakan Noaki atas
perasaannya terhadap Keo. Lambat laun suka tapi malu (gengsi), pelampiasannya jadi
marah-marah… ahahahaha (jadi ingat pengalaman sendiri berjuta tahun lalu…
waaaks lama banget ya)
Dengan setting di alam pegunungan ─ ini saya suka lagi karena penulis nggak terjebak
pada tuntutan pasar yang sering menginginkan setting kota besar atau luar
negeri, dan saya pernah lho… menulis dengan setting seperti ini, sama lagi
seputaran Lembang yang jadi inspirasinya *nggak penting* ─ buku ini tidak kehilangan sentuhan
moderen. Penulis menyisipkan kecanggihan peralatan game yang dimiliki Keo, si
bocah tajir. Penulis cerdas mengawinkan kesederhanaan dan kemewahan tanpa ada gap.
Kemudian sisipan bumbu misteri lewat sms-sms dari nomor tak
dikenal yang diterima Keo. Awalnya dari tawaran membantunya mengalahkan
tantangan Toby Chen untuk berlomba memiliki sepatu paling bau. Hahaha… ini
lagi, keunikan penulis yang tak disangka-sangka, adu lomba sepatu paling bau.
Berapa banyak penulis yang mampu membangkitkan ide “gila” dalam pikirannya
untuk dituangkan dalam sebuah cerita (semoga saya satu di antara mereka). Walau disampai akhir belum juga terungkap siapa orang misterius itu. Ah gemeeesss...
Juga bumbu kepedulian terhadap sahabat. Keo ingin membantu
Wamena “memisahkan diri” sejenak dari Timika, untuk membuktikan bahwa jika
mereka berjauhan tidak akan terjadi kesialan.
Ternyata, masalah ini menjadi puncak konflik antara Keo dan kelompok
Noaki. Entah siapa yang membocorkan rencana Keo pada Timika, sehingga rencana
gagal. Keo menuduh Noaki sehingga Noaki meradang.
Belum lagi kesialan yang menimpanya akibat tuduhan membobol sistem nilai di komputer guru. Keo
dirundung masalah.
Keo merasa “sendiri” lagi. Ketika Mamanya menawarkan untuk
pindah kembali ke sekolah lamanya di Jakarta, Keo langsung menyambut tawaran
mamanya dengan antusias. Wah! Keo pindah?
Serius? Jawabannya ada di buku kedua… hahaha… dikasih
bocoran biar penasaran.
Walau secara keseluruhan buku ini seru, karena cara bertutur
penulis yang berhasil menyeret saya untuk tenggelam dalam kisah ini tanpa jeda.
Ada sedikit ketidakpuasan setelah selesai membaca, karena menurut saya ada yang "mis".
Penokohan Noaki, kok terasa kurang kuat
dibanding Keo. Latar belakang Noaki dari keluarga menengah cukup jelas. Tetapi,
latar belakang hubungan Noaki dan kelompoknya sedikit pun tidak dideskripsikan.
Apalagi dengan asumsi Noaki adalah pemimpin di kelompok itu, apa dasarnya?
Sepertinya menarik jika dideskripsikan. Sayangnya penulis tidak membahasnya,
walau sekilas.
Part “Ajeng suka sama Keo”, ketika Wamena menyadarkan Keo kalau sikap yang ditunjukkan Ajeng itu adalah tanda-tanda Ajeng suka padanya. Dan kemudian Wamena berjanji untuk “menormalkan” Ajeng. Di bab selanjutnya Ajeng sudah berubah sikap lagi dan Keo sadar kalau Wamena sudah “menormalkan” Ajeng. Dasar kepo, saya penasaran gimana caranya Wamena menormalkan Ajeng… ah sayang penulisnya nggak menjelaskan. Menarik lho, cara pre-teen ini menyelesaikan konflik batin untuk menyudahi perasaannya demi sahabatnya (misal). Hal seperti ini biasa terjadi pada usia-usia belasan atau dewasa, kalau anak-anak usia sepuluh tahun-an, gimana?
Part “Ajeng suka sama Keo”, ketika Wamena menyadarkan Keo kalau sikap yang ditunjukkan Ajeng itu adalah tanda-tanda Ajeng suka padanya. Dan kemudian Wamena berjanji untuk “menormalkan” Ajeng. Di bab selanjutnya Ajeng sudah berubah sikap lagi dan Keo sadar kalau Wamena sudah “menormalkan” Ajeng. Dasar kepo, saya penasaran gimana caranya Wamena menormalkan Ajeng… ah sayang penulisnya nggak menjelaskan. Menarik lho, cara pre-teen ini menyelesaikan konflik batin untuk menyudahi perasaannya demi sahabatnya (misal). Hal seperti ini biasa terjadi pada usia-usia belasan atau dewasa, kalau anak-anak usia sepuluh tahun-an, gimana?
Hehehe... abaikan yang terakhir itu. Dibahas nggak dibahas sebenarnya nggak ngaruh sama keseluruhan jalan cerita. Pokoknya nggak rugi baca buku ini. Seruuu...
Rating Menurut Saya:
SANGAT SUKA * SUKA * BIASA AJA