Di
ruang tamu, Egi, Mala, Farhan, Heri, dan Fajar duduk dengan dahi berkerut.
Tampaknya mereka sedang berpikir keras. Memikirkan apa, ya?
Atika
masuk sambil membawa baki berisi enam gelas sirup. Dia tersenyum melihat wajah
teman-teman sekelasnya.
“Gimana?
Sudah dapat ide untuk tugas drama kita?” tanya Atika sambil meletakkan baki di
atas meja.
“Aku
sudah, sih. Gimana kalau kita membuat drama tentang bajak laut,” sahut Heri.
“Ih, Heri… mengerikan banget, sih, nggak ada ide lain apa?” cetus Egi.
“Aku
punya ide, gimana kalau drama tentang pencuri yang bertaubat,” celetuk Fajar.
“Ah,
itu mah sudah biasa, bosan…,” sambut Mala. “Gimana kalau tentang
princess-princess, gitu deh,” sambung Mala centil.
“Huuu…”
Usul Mala mendapat sorakan dari teman-temannya. Mala cemberut.
“Sudah…
sudah… nggak usah ribut ah. Gimana kalau kita menampilkan drama, tentang
seorang anak yang sangat disayangi ayahnya, tetapi dizalimi saudara-saudaranya
karena iri,” kata Atika tenang.
“Terus
ceritanya gimana?” Farhan tampak tertarik.
“Anak
itu mengalami penderitaan akibat perbuatan saudara-saudaranya. Dibuang ke
sumur, dijual sebagai budak, dan difitnah oleh isteri majikannya.” Atika
menarik nafas.
“Terus
akhirnya bagaimana?” tanya Egi.
“Akhirnya,
anak itu jadi pejabat tinggi,” jawab Atika sambil tersenyum.
“Wah,
keren tuh ceritanya, ya nggak teman-teman?” Farhan tampak bersemangat.
“Iya,
bagus, Atika. Ngomong-ngomong, dari mana, sih, kamu dapat ide sekeren itu?”
tanya Fajar.
“Kasih
tahu nggak ya…,” canda Atika sambil tergelak.
“Huuu…
Atika bikin penasaran, deh,” sambut Mala sambil mencubit tangan Atika.
“Aduh,
Mala… sakit tahu. Tapi, kalau kalian penasaran, tunggu ya aku ambil sesuatu dulu,”
ujar Atika sambil beranjak ke ruang dalam.
Tak
lama kemudian, Atika sudah kembali lagi ke ruang tamu. Dia mendekap sesuatu.
“Nah,
teman-teman ini dia sumber ideku, quran Syaamil Quran… taraaa,” seru Atika.
“Quran?”
teman-teman Atika merasa heran.
“Iya,
quran. Di dalam quran, kita bisa menemukan cerita-cerita yang menarik dan seru,”
kata Atika.
“Masa,
sih?” Heri tampak penasaran.
“Iya
benar, aku paling suka kisah para nabi,” cetus Atika. “Tahu tidak, siapa anak
yang menjadi pejabat tinggi itu?” lanjutnya.
Egi,
Mala, Farhan, Heri, dan Fajar kompak menggeleng.
“Anak
itu adalah… Nabi Yusuf alaihi salam…”
“Ooo…”
Kelima teman Atika saling bertukar pandang dan mengangangguk-angguk.
“Nah,
gimana? Setuju tidak kalau kisah Nabi Yusuf, kita jadikan tugas drama?” tanya Atika.
“Setuju!”
sambut kelima temannya serempak.