![]() |
foto : koleksi pribadi |
SOSIS ATAU DOLPHIN
Buku ini sekuel (lanjutan) buku GKNN Dobel Kacau. Di bab awal penulis masih membahas soal “kemiripan”
antara Noaki dan Keo, lewat penelitian (tak diminta) Seb. Saya pikir masalah
ini sudah selesai di buku pertama. Bukankan
Keo dan Noaki sudah melakukan sosialisasi kemiripan mereka dengan cara
berkeliling kelas itu lho. Tapi saya
suka dengan ide memelesetkan istilah “Sosie” dan “Doppleaganger” yang pasti susah
diucapkan apalagi diingat oleh pembaca anak-anak.
Yang membuat lega Keo nggak jadi pindah lagi ke Jakarta. Dan
permasalahan yang bersumber pada kesalahpahaman itu akhirnya terungkap siapa
pencetusnya. Siapa ayo… baca deh bukunya.
LAYANG-LAYANG
Keo kembali dekat dengan Noaki dan kelompoknya. Mereka
berencana piknik pada satu hari libur. Suasana yang mengasyikkan terganggu
dengan lepasnya layang-layang rajawali milik Keo. Layang-layang itu kenang-kenanganan dengan orang yang sangat
disayangi Keo. Tak heran jika Keo merasa sangat sedih kehilangan layang-layang
itu.
Namun, atas usul Wamena mereka mencari layang-layang itu.
Ternyata layang-layang itu jatuh ke tangan
Kinanti. Masih ingat Kinanti? Di buku pertama, diceritakan Kinanti yang
(mungkin) tomboi pernah keki pada Keo karena dianggap merebut nama
panggilannya. Nah, Kinanti yang sepertinya
masih keki menantang Keo untuk memperebutkan layang-layang itu dengan cara
melakukan lomba. Pemenangnya akan menjadi pemilik layang-layang rajawali.
Uniknya di tengah persiapan perlombaan itu, konflik antara
Noaki dan Keo semakin “dalam”. Saya menangkap
perasaan Noaki semakin “aneh” pada Keo. Begitu juga sebaliknya. Tapi saya tidak
mau gegabah menyebut itu perasaan suka antara lawan jenis ya. Karena buku ini
untuk anak-anak, maka saya menganggap kalau itu perasaan untuk sahabat. Tapi…
kenapa Noaki tidak senang jika dia dianggap hanya “sahabat” saja… hehehe…
awal-awal puber memang begitu ya. Saya, sih, pernah mengalaminya.
Hari perlombaan pun tiba. Lombanya ada 5 cabang. Lomba makan
kerupuk, balap karung, balap bakiak, memasukkan paku ke dalam botol, dan
penentuan adalah menangkap belut. Lho kok? Ah, saya nggak berani bilang kalau
penulis ini sehati dan satu selera sama saya soal kegiatan outdoor ini, walau
saya pernah juga nulis tentang lomba menangkap belut di novel anak saya. Jadi
kangen Obit… *halah*
Salut sama penulis yang mengakhiri segmen lomba ini dengan
permasalahan baru lagi tapi penyelesaian yang “jentelmen” dari seorang
Keo. Keo lebih memperhatikan kondisi
Noaki daripada ngotot mendapatkan layang-layangnya. Duh, Keo…
ROMANTIS
Apakah boleh menyebut interaksi antara anak perempuan dan
laki-laki berusias 10-11 tahun dengan kata romantis? Namun kenyataannya seperti
itu. Beberapa kali saya menangkap suasana romantis dalam buku ini.
Noaki mengusap air mata. Masih terisak. Keo berlutut di sampingnya, menunggu ia menoleh. Dan ketika mata mereka bertemu, Keo tersenyum menenangkan.
Oh My God… kenapa di zaman saya SD itu nggak ada anak
laki-laki se-jentelmen Keo. Mereka bau matahari dan senangnya mengejek. Kalau
pun ada yang suka sama saya, kalau saya sedih, dia pasti lebih memilih pergi
sama teman-temannya daripada menghibur saya.
Malu… takut diejek, hahaha.
“Dan kamu harus berjanji satu hal lagi,” kata Keo, dengan mata mulai berkelip jenaka. “Jangan pernah menghindari aku lagi. Karena aku enggak suka dibikin bingung. Mending kamu marah-marah saja. Lebih jelas. Lebih seru. Lebih lucu juga, sih.”
Oow… kalimat senada baru saya dengar dari someone yang lagi naksir pas SMA dan eng
… udah gedean lagi.
Selanjutnya ketika Keo mulai memanggil Noaki dengan “Noa ”
saja. Dan Noaki merasa senang karena artinya cintaku. Apa yang membuat Keo
ingin berbeda? Jeng… jeng… mulai ada GR
yang menyenangkan. Saya juga degdegan waktu ada cowok yang memanggil saya
dengan nama panggilan berbeda. Tapi… waktu SMA… ah…
Adegan boncengan sepeda itu… oh no… dejavu… tapi saya
mengalaminya pas SMP.
Baiklah, terlepas dari perasaan terheran-heran, tegang,
geli, sirik sama Noaki ( hahaha… ) saya masih
suka buku ini. Cerita Keo dan Noaki ini membangkitkan kenangan pada
khayalan-khayalan masa ABG dulu (lebih tua dikit dari Keo dan Noa). Sikap dan cara berpikir Noaki dan Keo, jarang (hampir tidak pernah) saya temui dalam karakter-karakter novel karya penulis lokal, khususnya novel anak. Dua karakter ini berkembang seperti karakter-karakter dalam novel terjemahan atau film-film pre-teen rilisan Hollywood. Good point. Buku ini memberi contoh bahwa anak Indonesia dalam karakter sebuah kisah jangan diperlakukan seperti anak-anak dari negara "berkembang", tapi tampilkan anak-anak berpikiran negara maju.
Apakah maksud dari penulisnya menyisipkan sentilan-sentilan
romantis ini, akan menjadikannya sebagai benang merah di sekuel selanjutnya? Entahlah... saya nggak berani mengira-ngira.
Saya pernah brainstorming dengan penulisnya. Dalam obrolan
kami terselip penyesalan bahwa novel-novel anak kami dulu (sempat terbit
bareng) terpaksa terhenti di jilid kedua saja. Padahal penulis ini punya mimpi
kalau karakter utama dalam novelnya itu akan terus berkembang sampai usia
remaja.
Bisa jadi, penulis sekarang mengalihkan obsesinya pada novel
GKNN, dan “kisah-kasih” antara Keo dan Noa, menjadi benang merah untuk
sekuel-sekuel berikutnya terus sampai usia mereka remaja dan dewasa. Seru
kayaknya, yak…
Kita tunggu saja.