![]() |
pict: www.sriyuliani.staff.fisip.uns.ac.id |
“Hahaha... hahaha...
hahaha...”
Suara anak-anak yang ceria
terdengar riuh rendah di suatu sore yang cerah.
Mereka sedang asyik bermain di halaman sebuah pendopo. Tiba-tiba seorang ibu yang cantik jelita datang
menghampiri mereka, kemudian berkata, “Ayo anak-anak, sudah bermainnya. Kita kembali ke pendopo dan lanjutkan latihan
menari kalian.”
“Yaaaa... Bunda, sebentar lagi
saja ya. Kita sedang asyik nih,
permainannya seru,” sahut seorang anak perempuan dengan suara manja.
“Nawang Alit, jangan
begitu. Kau harus memberi contoh yang
baik untuk teman-temanmu. Menjadi penari
yang baik itu tidak mudah, harus tekun dan disiplin dalam berlatih.” Dewi Nawang Wulan menasehati putri semata
wayangnya.
“Mari anak-anak, kita
lanjutkan latihan menarinya," ajak Dewi Nawang Wulan dengan suara tegas.
“Ya Bunda Dewi...” sahut
anak-anak tersebut sambil berlarian menuju pendopo. Nawang Alit terpaksa mengikuti teman-temannya
sambil cemberut.
“Eh, hey, siapa kau? Mengapa
bersembunyi?.” Sekilas Dewi Nawang Wulan melihat ada anak kecil bersembunyi di
balik tembok pagar pendopo.
“Kemarilah Nak, jangan takut,” panggil Dewi Nawang Wulan dengan lembut.
Seorang anak perempuan
berbadan kurus keluar dari balik tembok dengan malu-malu. Kepalanya tertunduk, tidak berani menatap
Dewi Nawang Wulan.
“Siapa namamu, Nak?” tanya
Dewi Nawang Wulan sambil tersenyum.
“Rara Intan, Bunda Dewi,” sahut anak perempuan itu dengan suara pelan.
“Mengapa kau bersembunyi di
balik tembok?” tanya Dewi Nawang Wulan lagi.
“Aku ingin ikut berlatih
menari. Tapi aku malu.” Rara Intan
berkata.
“Kau senang menari, Nak?”
tanya Dewi Nawang Wulan lembut.
Rara Intan mengangguk
malu-malu.
“Tidak perlu malu, ayo ikut
Bunda ke pendopo,” ajak Dewi Nawang Wulan sambil menggandeng tangan Rara Intan.
Plok... plok... plok...
Dewi Nawang Wulan bertepuk
tangan agar perhatian anak-anak tertuju padanya. Kemudian dia berkata, “Anak-anakku, kenalkan
ini Rara Intan. Mulai sore ini, Rara
Intan akan ikut menari bersama kalian.
Bantu dia melatih tarian yang belum dipelajarinya ya.”
“Cih, Bunda mengapa anak
miskin ini diperbolehkan latihan bersama kita.”
Nawang Alit mencibir tidak senang.
“Nawang Alit, tidak baik
berkata seperti itu. Siapa pun boleh
belajar menari di pendopo ini asalkan dia senang dan belajar menari dengan
bersungguh-sungguh.” Dewi Nawang Wulan tidak senang mendengar perkataan
puterinya itu.
Nawang Alit memang cantik dan sangat
berbakat menari. Ibunya, Dewi Nawang
Wulan keturunan bidadari dari kahyangan, ayahnya seorang Adipati bernama Jaka
Tarub. Sayangnya, perangai Nawang Alit sangat tidak menyenangkan. Dia sombong dan jika berteman selalu memilih anak-anak dari
kalangan bangsawan atau anak orang kaya saja.
Sedangkan Rara Intan hanyalah
seorang anak miskin. Ibunya bekerja
sebagai buruh kasar di perkebunan milik Adipati Jaka Tarub, ayahnya sudah
meninggal ketika dia masih bayi. Rara Intan anak yang rajin dan teguh pada
pendirian.
Tak terasa waktu pun
berlalu. Rara Intan berlatih menari
dengan tekun. Sudah banyak tarian yang
dikuasainya dengan baik. Dewi Nawang
Wulan sangat senang dengan kemajuan yang diraih Rara Intan. Sebaliknya dengan Nawang Alit. Nawang Alit sadar kalau dirinya sangat
berbakat, jadi menurutnya latihan itu tidak penting. Maka, dia lebih banyak menghabiskan waktunya
dengan bermain. Nawang Alit sering membolos latihan menari di pendopo.
Suatu hari Dewi Nawang Wulan
memberikan pengumuman penting.
“Anak-anakku, dengarkan ya,
Bunda punya kabar gembira. Satu minggu
lagi, kita akan kedatangan tamu dari kerajaan.
Raja dan Putri Kirana akan berkunjung kesini. Nah, Putri Kirana berkenan memilih salah
seorang dari kalian yang sangat berbakat dalam menari. Anak yang terpilih akan diajak Putri Kirana
untuk menari di istana. Senang kan?”
Dewi Nawang Wulan berkata dengan nada riang.
“Hore... hore... hore...”
anak-anak bersorak gembira menyambut berita dari Dewi Nawang Wulan.
Rara Intan menahan
nafasnya. Dia berjanji dalam hati untuk
berlatih dengan lebih sungguh-sungguh supaya bisa terpilih. Duh, betapa senang dan bangga ibunya jika dia
terpilih kelak.
Di sudut lain Nawang Alit
tersenyum congkak. Dia sangat yakin
bahwa dialah yang akan terpilih.
Menurutnya tak ada seorang anak pun di pendopo ini yang mampu menandingi
kepandaiannya dalam menari.
Rara Intan berlatih dengan
tekun. Kapan pun dia memiliki waktu
luang, pasti dia isi dengan melatih gerakan tariannya. Sampai-sampai melihat kerja kerasnya itu, ibu
Rara Intan merasa khawatir. Dia takut
kalau Rara Intan jatuh sakit.
“Intan, sudah mau maghrib Nak,
istirahat dulu. Dari tadi Ibu lihat kau
latihan menari tak henti-henti. Masuk
Nak, angin sore tidak baik untuk kesehatan.”
Ibu Rara Intan mengingatkan putrinya.
“Iya Bu, sebentar lagi
saja. Sekalian menunggu bedug
maghrib. Tanggung Bu, Intan belum
menguasai betul gerakan tarian yang ini,” sahut Rara Intan berkeras.
Ibunya hanya bisa
menggelengkan kepala melihat keteguhan hati puterinya.
Hari yang ditunggu pun
tiba. Rombongan kerajaan tiba di pendopo
dan disambut dengan meriah. Anak-anak
penari menampilkan tarian mereka untuk menghibur tamu-tamu. Dari sorot matanya, Putri Kirana tampak
menikmati persembahan tari-tarian itu.
Kemudian tiba giliran Nawang
Alit dan Rara Intan untuk menunjukkan kepandaian mereka dalam seni tari. Keduanya tampil percaya diri. Dua-duanya menari dengan sama baiknya. Semua yang hadir di pendopo itu memandang
kagum pada dua gadis cilik itu. Hanya mata Dewi Nawang Wulan dan Putri Kirana
saja yang bisa membedakan tarian mana yang lebih indah.
Nawang Alit menari dengan
penuh jumawa. Senyum congkak tersungging
di bibirnya. Rasa percaya dirinya sangat kentara. Sedangkan Rara Intan menari dengan
lemah-lembut, gerak tubuhnya halus menandakan kerendahan hatinya. Senyum tulus menghiasi wajahnya yang manis.
Setelah Nawang Alit dan Rara
Intan menyelesaikan tariannya. Putri
Kirana bangkit dari tempat duduknya sambil bertepuk tangan. Wajahnya sumringah, tanda hatinya puas dengan
pertunjukan barusan.
Nawang Alit berdiri tegak
sambil sedikit mengangkat mukanya. Sikapnya
angkuh sekali. Dia yakin Putri Kirana
akan memilih dirinya.
Tak disangka-sangka Putri
Kirana menghampiri Rara Intan. Kemudian
sambil meletakkan tangannya di bahu Rara Intan, Putri Kirana berkata,
“Adik manis, siapa namamu?”
“Rara Intan, Gusti Putri," jawab Rara Intan pelan.
“Baiklah, Rara Intan, karena
tarianmu sangat indah, aku memilihmu,” ujar Putri Kirana.
Rara Intan langsung
menjatuhkan diri untuk bersujud syukur.
Nawang Alit terkejut menyaksikan semua itu.
Belum habis rasa terkejutnya,
tiba-tiba ibunya maju ke depan. Dewi
Nawang Wulan mengalungkan sehelai selendang di leher Rara Intan. Selendang yang sangat indah, berwarna merah
berkilau. Nawang Alit langsung menangis.
Siapa yang tidak tahu perihal
selendang itu. Selendang merah itu
adalah "selendang bidadari" warisan dari kahyangan. Beruntung sekali Rara Intan bisa memilikinya.
“Jangan menangis Nawang
Alit. Rara Intan pantas mendapatkan
hadiah istimewa sebagai balasan kerja keras dan kesungguhannya selama ini. Semoga kau bisa menarik pelajaran yang
berharga dari peristiwa ini.” Dewi
Nawang Wulan berkata lembut sambil memeluk puterinya.
Nasi sudah menjadi bubur. Nawang Alit hanya bisa menyesali
kebodohannya, karena dia sudah menyia-nyiakan waktu dan meremehkan kemampuan
Rara Intan. Sambil menangis di pelukan
ibunya, diam-diam Nawang Alit berjanji dalam hatinya akan memperbaiki
kesalahannya.
![]() |
foto : koleksi pribadi |